Al-Quran Menjawab Semua Tantangan Ilmu pengetahun

⊆ 18.28 by bang irul | ˜ 0 komentar »

Al-Quran Menjawab Semua Tantangan Ilmu pengetahun
Pada dasarnya hakikat Al-Quran dalam pospektif kekinian dan masa yang akan datang adalah sebagai mukzizat terbesar yang diyakini, Al-Quran tentunya sudah dipersiapkan untuk menjawab seluruh tantangan itu.
Pada generasi para sahabat yang hidup pada masa Rasuulullah masih hidup, apabila satu ayat yang tidak difahami maknanya, para sahabat tersebut bisa langsung bertanya kepada Rasulullah. Dan Rasulullah akan langsung menjawab dan menjelaskan dalam bentuk sunah atau hadist sesuai dengan petunjuk langsung dari Allah swt, sehingga pada masa itu tidak pernah dan tidak akan pernah terjadi perbedaan penafsiran satu ayat pun antara para sahabat dengan sahabat yang lain. Demikian juga dengan generasi sesudahnya. Mereka mendapat arahan dan pemahaman serta bisa bertanya langsung kepada para sahabat yang hidup semasa dengan Rasulullah.
Pada generasi selanjutnya sampai generasi sekarang dan generasi yang akan datang sampai akhir zaman natinya, Al-Quran dan hadist telah dibaca dan difahami oleh banyak generasi dengan banyak tingkat intelektual, banyak macam keahlian serta mempunyai berbagai kepentingan. Sementara itu ayat Al-Quran dan teks hadist sebagai sumber hukum utama tidak pernah mengalami perubahan atau perbaikan ( tidak akan pernah ada Al-Quran dan Hadist edisi revisi tahun tertentu). Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya penafsiran yang bebeda atau multi tafsir antara satu kelompok dengan kelompok yang lain dan dari satu generasi dengan generasi yang lain atau antara satu profesi dengan profesi yang lain serta penafsiran dari sudut pandang suatu disiplin ilmu tertentu berbeda dengan penafsiran yangberasal dari disiplin ilmu yang lain
Satu ayat Al-Quran atau satu teks hadist yang dibaca oleh para sahabat pada zaman Rasulullah saw, masih tetap sama dengan ayat A-Quran atau teks hadist yang dibaca oleh seorang petani yang sekarang hidup di sebuah desa terpencil yang tidak pernah mengenal kemajuan teknologi dan rumitnya ilmu pengetahun. Demikian juga dengan seorang pedagang yang dalam aktivitas sehari-harinya selalu dihadapkan dengan pesoalan menjual dan membeli, untung dan rugi. serta seorang ahli astronomi, seorang polisi yang tugas dan tanggungjawabnya dekat dengan pengamanan, perlindungan dan pengayoman masyarakat, politikus, penjahat, tekhnisi, blogger, dokter, pengamat, kiyai, mahasiswa, pelajar, tentara, orang tua, koruptor, anak-anak dan profesi-profesi serta kelompok-kelompok lainnya.
Sebagai mukzizat, tentunya Allah telah mempersiapkan Al-Quran dan hadist untuk menerima penafsiran-penafsiran yang berbeda antara kelompok-kelompok hamba-Nya itu. Salah satunya cara yang diterapkan Allah adalah menurunkan Al-Quran dan hadist dengan hanya memuat inti sari ilmu pengetahuan saja serta dengan pemakaian banyak kosa kata yang bersifat majas, sehingga multi tafsir satu ayat antara satu orang dan satu orang yang lain selagi masih berada dalam karidor dan acuan yang sudah disampaikan Rasulullah Muhammad saw serta penafsiran para sahabat dan generasi-generasi terbaik sesudahnya sangat mungkin terjadi dan itu sah saja untuk diterima dan difahami.
Selain itu, sebagai mukzizat, Al-Quran sangat membuka kesempatan kepada akal untuk memahaminya. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya ayat Al-Quran yang merangsang dan menuntut pemakaian akal dan fikiran dalam memahami sebuah ayat. Sehingga tidak tertutup peluang untuk mengembangkan penafsiran ayat-ayat Al-Quran dan teks hadist dengan logika dan akal yang sehat, tentunya selagi tidak bertentangan dengan penafsiran-penafsiran sebelumnya yang telah mengacu kepada kaidah-kaidah ilmu tafsir yang sudah disepakati secara luas. Al-Quran dan hadist sangat menghormati dan menghargai akal dan orang-orang yang berilmu serta orang-orang yang telah memakai akal sehatnya secara benar.
Sebagai contoh, apabila pemahaman tentang bersemayamnya Allah swt, mutlak difahami berada di tempat yang tinggi ( istiwa ) atau di sitdhratulmuntaha sebagai mana yang diungkapkan dalam kisah isra’ dan mikraj, tentunya akan sangat bertentangan dengan ayat yang menyatakan bahwa “ Tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia “ ( QS : 122 : Al-Ikhlash : ayat : 004 ) karena dengan menyatakan dan memahami bahwa bersemayamnya Allah swt pada suatu tempat. Baik tempat tersebut nyata atau pun gaib, jauh atau pun dekat dalam waktu yang lama atau sebentar, pada hakikatnya telah menyetarakan Allah swt dengan makhluk. Karena ungkapan dan pernyataan atau kata “ bertempat “ atau pun “ menempati “ sangat terikat dengan batasan ruang dan waktu. Sementara ruang dan waktu itu adalah juga ciptaan Allah swt. Mustahil Allah swt dibatasi oleh ciptaan-Nya sendiri.
Selain itu kata “ setara “ juga bisa berarti sederajat, setingkat atau “ sama dengan ” dengan lambang “ = “. Dalam pengertian ilmu statistik, kesetaraan atau persamaan bisa saja didapat pada tingkatan pertama seperti “ sama-sama laki-laki “ tapi apakah laki-laki tersebut sama umurnya ?. Sehingga pada tingkatan selanjutnya akan didapat kesetaraan atau persamaan “ sama-sama laki-laki dengan umur lebih tua dari dua puluh tahun “ dan seterusnya sampai tidak ada lagi variabel yang bisa dijadikan alat untuk menyatakan persamaan atau perbedaan atau dikatakan masing-masingnya sudah menjadi variabel tunggal atau homogen ( kalau bisa tercapai ).
Ketika sudah tidak ditemukan lagi variabel kesetaraan yang bisa menyatakan persamaan atau perbedaan, pada hakikatnya masih ada variabel-variabel kesetaraan di dalamnya yaitu “ sama-sama tidak bisa disetarakan persamaan atau perbedaannya “, sehingga ayat yang menyatakan “ Tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia “ tersebut perlu diberikan penafsiran logika lebih rinci yang bisa diterima akal sehat.
Contoh lain adalah ketika Rasulullah Muhammad saw memerintahkan untuk juga mengikuti khalifah sesudahnya, tentunya tidak bisa hanya difahami dengan pengertian terbatas pada kalifah Abu Bakar Siddik, Umar bin Khatab, Usman bin Afan dan Ali bin Abi Talib saja, karena apabila difahami hanya sebatas itu saja, tentu berarti berhentinya perkembangan akal dan ilmu pengetahuan sampai dibatas itu. Sedangkan dalam realitanya akal dan ilmu pengetahuan manusia telah terus berkembang sampai saat sekarang ini dan akan terus berkembang sampai akhir zaman nantinya. Bahkan pekembangannya akan melewati puluhan, ratusan, ribuan generasi bahkan sampai bilangan tak terhingga yang hanya Allah swt sendiri yang bisa mengetahuinya.
Dan tidak bisa dibayangkan betapa panjangnya teks hadist tersebut, apabila Rasulullah Muhammad saw harus menyebut semua kalifah satu per satu yang akan ada sesudah Beliau sampai hari kiamat nanti. Sehingga hadist tersebut bisa ditafsirkan ( salah satunya ) bahwa yang dimaksud dengan kalifah pada hadist tersebut adalah para sahabat terbaik yang telah belajar secara langsung kepada Rasulullah saw ( Abu Bakar Siddik, Umar bin Khatab, Usman bin Afan dan Ali bin Abi Talib ). Karena kemampuan dan wawasan pemikiran dan keilmuan mereka sudah tidak perlu diragukan lagi termasuk kalifah-kalifah yang telah belajar kepada mereka dan seterusnya.
Jadi penafsiran dan pemahaman hadist tersebut secara terang dan nyata telah memerintahkan kepada kita untuk juga mengikuti fatwa dan pendapat para ulama yang sudah diyakini keahlian dan penguasan ilmunya disamping telah mendapat izin dari guru-gurunya untuk menyampaikan sebuah fatwa dan memutuskan suatu hukum, karena hadist tersebut juga bisa ditafsirkan dan difahami sebagai izin untuk menyampaikan fatwa dan memutuskan suatu hukum kepada para kalifah yang dimaksud.
Jadi dari kajian yang mungkin terlalu singkat ini kita telah dapat memberi kesimpulan bahwa :
• Sebagai mukzizat, Allah swt telah mempersiapkan Al-Quran untuk menjawab seluruh tantangan dari seluruh perkembangan ilmu pengetahuan yang ada saat ini dan yang akan ada di masa yang akan datang
• Penolakan terhadap penafsiran dan pemahaman yang tidak sama dengan penafsiran dan pemahaman yang diyakininya bukanlah bagian dari syariat ajaran agama islam yang diajarkan Rasulullah Muhammad saw.
• Menghukum dan memberikan cap bid’ah kepada setiap orang atau kaum yang memahami Al-Quran dan hadist sesuai dengan logika Al-Quran dan hadist yang benar, bisa saja menjadi bid’ah yang lebih buruk, sehingga perlu disusun sebuah rangkaian tulisan dengan kalimat awal yang berbunyi “ Bid’ah-Bid’ah Para Pembid’ah “.
Terakhir Bang Irul berpesanan bahwa, jangan berhenti untuk mempergunakan akal dan pikiran kita untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, karena salah satu kelebihan manusia dari makhluk lain yang diciptakan Allah swt adalah akal pikiran itu. Pakailah terus dan teruslah memakainya. Jangan sampai nantinya Allah swt menganggap kita sudah tidak memerlukannya lagi.

 

Kebijaksanaan Allah Melalui Ar-Rahman dan Ar-Rahim

⊆ 18.24 by bang irul | ˜ 0 komentar »

Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah dua nama yang diperkenalkan Allah swt sebagai nama-Nya yang utama dan dengan nama-nama itu Allah swt memuji diri-Nya sendiri sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, serta dengan nama itu juga Tuhan swt memerintahkan kepada setiap hamba untuk memuji dan memohon kepada-Nya dengan doa-doa kebaikan. Ibnu Abbas ra dalam Fathu al-Bari mengatakan bahwa kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim ini berasal dari kata yang diserap dari kata “ rahmah “ dimana hakikat makna kata Ar-Rahim lebih lembut dari pada hakikat makna kata Ar-Rahman walau penyampaiannya lebih cendrung disebut secara bergandengan atau disebut bersamaan dalam satu ayat.

Kemuliaan nama Allah, Ar-Rahman dalam Al-Quran telah disebut berulang-ulang sebanyak lima puluh tujuh kali dan nama Ar-Rahim disebut sebanyak lebih dari sembilan puluh kali dan yang paling agung terdapat dalam surat Al-Fatihah yaitu sebanyak dua kali pada ayat pertama “ Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang “ dan pada ayat ke tiga “ Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang “ Diantara dua ayat tersebut diselingi dengan satu ayat pujian Tuhan swt terhadap diri-Nya sendiri “ Segala Puji Bagi Allah Tuhan Seru Sekalian Alam “

Sebagaimana yang telah disampaikan pada kajian sebelumnya bahwa diantara nama-nama yang diperkenalkan Tuhan swt sebagai nama-Nya, “ Allah “ adalah nama yang paling utama bagi bagi Tuhan swt, sehingga tidak ada perselisihan terhadap hakikat makna dari kata “ Allah “ selain untuk Tuhan swt. Sedangkan nama-nama lain selain dari pada kata “ Allah “ apabila digabungkan penyebutannya dengan kata “ Allah “ tersebut bermakna sifat dari Tuhan swt yang menamakan diri-Nya sendiri dengan sebutan “ Allah “.

Sehingga dari pemahaman tersebut, maka kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim merupakan salah satu sifat yang utama bagi Allah swt dari banyak sifat yang diambil dari nama-nama-Nya. Sebagai sifat, Ar-Rahman yang berarti Maha Pengasih dan Ar-Rahim yang berarti Maha Penyayang juga bisa difahami sebagai hakikat dari sifat kebijaksanaan dari Allah swt itu sendiri, dimana kasih dan sayang Allah swt itu diberikan secara merata kepada seluruh makluk di dunia ini sebagai konsekuensi dari penciptaan yang dilakukan-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta.

Walau sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim cendrung disebut secara bersamaan, namun dalam pemahamannya, sesungguhnya dua sifat ini pada Allah swt mempunyai perbedaan hakikat makna dan pembuktian yang sangat nyatanya dari keduanya yaitu :

Ar-Rahman atau Kepengasihan Allah swt terhadap makhluk tidak memandang tingkat ketaatan makhluk dalam menjalankan perintah-Nya. Sehigga Allah swt mengasihi setiap makhluk yang telah diciptakan-nya secara merata baik itu manusia atupun hewan, tumbuhan, iblis, malaikat dan makhluk-makhluk yang lainnya

Sebagai contoh, dengan sifat kepengasihan Allah swt inilah seekor induk hewan menyusui anak-anaknya dan membesarkannya dan dengan sifat kepengasihan itu juga seorang ibu menyusui dan membesarkan anak-anaknya, sehingga melalui sifat kepengasihan ini, Allah swt membuktikan bahwa Dia sebagi Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Menguasai menjamin hak hidup sebagai hak dasar bagi setiap makhluk yang diciptakan-Nya.

Pengingkaran terhadap hak hidup atas makhluk tanpa hak, sesuai dengan tujuan penciptaannya merupakan pengingkaran langsung terhadap hak penjaminan yang telah diberikan langsung oleh Allah swt dan pengakuan terhadap hak hidup sebagai hak dasar dari setiap makhluk merupakan suatu ibadah yang apabila dilakukan karena Allah swt akan mendapat imbalan dan penghargaan yang benilai tinggi di sisi-Nya.

Ar-Rahim merupakan sifat kelanjutan dari sifat Ar-Rahman dimana sifat Ar-Rahim ini diberikan sebagai bentuk penyempurnaan dari sifat Ar-Rahman atau kesempurnaan sifat kepengasihan Allah swt terhadap makhluk yang telah diciptaka-Nya.

Kesempurnaan tersebut merupakan apresiasi dari nilai ketaatan dan nilai ketundukan makhluk dalam menjalankan perintah yang telah diberikan Allah swt. Sehingga kepengasihan terhadap makhluk yang tanpa disempurnakan dengan sifat sayang-Nya bisa saja dimaknai dengan penghukuman Allah swt dan kepengasihan yang disertai dengan sifat sayang merupakan penganugrahan yang bermakna lebih baik dari penghukuman itu.

Jadi Ar-Rahman dan Ar-Rahim merupakan salah satu sifat yang utama pada Allah swt yang diambil dari sekian banyak nama yang mensifati-Nya, dimana Ar-Rahman dan Ar-Rahim berasal dari satu kata turunan “ rahmah “ yang difahami secara bertingkat dengan pengertian bahwa sifat Ar-Rahim merupakan penyempurnaan dari sifat Ar-Rahman sehingga hakikat makna dari sifat Ar-Rahim sudah meliputi makna dari sifat Ar-Rahman itu sendiri, walau secara syariat penyebutan dengan penggabungan keduanya sebagai sebuah rangkaian yang berarti Maha Pengasih dan Maha Penyayang, lebih berarti doa dan harapan terhadap makna yang dikandung dengan kesempurnaan kedua sifat itu terhadap Zat yang memiliki sifat keduanya. [ Al-Asma Al-Husna ]